3 Formasi Penggunaan Somasi
Bukan hanya dalam kasus perusahaan retail berbagai barang, tetapi juga perusahaan minuman segar – sepertinya orang-orang di di Indonesia sangat senang menggunakan somasi sebagai bentuk peringatan atau teguran tertulis kepada pihak yang mereka anggap merugikan. Motif yang menyertai tindakan somasi-somasi itu juga rata-rata serupa, yakni sebaran informasi kurang baik di media sosial.
Tetapi sebenarnya apa sih itu somasi?
Apakah setiap pengusaha yang merasa mendapatkan kerugian dari pihak lain dapat mengajukan somasi begitu saja?
Secara teori somasi adalah peringatan atau teguran yang biasanya dibuat secara tertulis kepada seseorang sebelum diperkarakan baik secara perdata maupun pidana.
Secara perdata, Berdasarkan KUHPer Pasal 1238, somasi biasanya digunakan dalam hal terjadi perikatan yang tidak dipenuhi, khususnya dalam hal utang-piutang antara kreditur dan debitur. Fokus dari somasi dalam lingkup perdata biasanya adalah tujuan mendapatkan ganti rugi atau pemenuhan prestasi yang seharusnya dipenuhi oleh debitur.
Hal ini juga berkaitan dengan KUHPer Pasal 1243 yang menyatakan bahwa wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat diajukan ke pengadilan apabila si berutang tetap melalaikan kewaijbannya terlepas dari peringatan yang telah diberikan mengenai kelalaiannya dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Sementara itu, dalam ranah pidana, biasanya somasi digunakan untuk menjadi upaya pertama yang dapat dilakukan sebelum mengajukan pengaduan masyarakat ataupun laporan kepada kepolisian. Tentu saja, ujung dari somasi yang diberikan dalam ranah adanya tindak pidana adalah permintaan ganti kerugian atau permintaan klarifikasi di media sosial jika permasalahannya terkait pencemaran nama baik.
Terlepas dari adanya perbedaan penggunaan somasi dalam ranah perdata dan pidana tersebut, pada praktiknya seringkali tidak dilakukan pemisahan antara perkara pidana dan perdata dalam penggunaan somasi. Berikut 3 formasi yang biasanya digunakan dalam praktik pemberian somasi:
1. Perkara Pidana dengan Tujuan Ganti Rugi
Seringkali somasi digunakan dalam perkara pidana untuk mendapatkan ganti rugi materil maupun immateril dengan harapan adanya iktikad baik dari pelaku tindak pidana, namun apabila ternyata pelaku tindak pidana tidak memiliki iktikad baik biasanya korban langsung membuat laporan kepada pihak kepolisian.
Contohnya adalah tindakan pidana pencemaran nama baik yang menuntut ganti rugi immateriil seperti membuat dan mem-posting video klarifikasi di media sosial dengan permintaan maaf kepada korban. Pencemaran nama baik bukan hanya diancam oleh KUHPidana Pasal 310, tetapi juga oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 tahun 2008 Pasal 27 ayat (3), apabila pencemaran nama baik dilakukan dalam media sosial yang dapat dilihat oleh banyak orang baik yang dikenal oleh korban atau yang tidak dikenal.
Secara umum, pencemaran nama baik di media sosial yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) seharusnya dikenakan hukuman penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak sejumlah Rp 750 juta. Akan tetapi, tidak semua pihak yang merasa dirugikan merasa bahwa jerat hukum berupa ancaman penjara dan denda tersebut adalah suatu pemulihan yang dicarinya.
Beberapa korban pada praktiknya menanggapi pencemaran nama baik yang dialaminya melalui media sosial dengan menuntut ganti rugi immateriil seperti melakukan klarifikasi dan permintaan maaf di media sosial. Proses ini sering dilakukan melalui pembuatan surat somasi, apabila ganti rugi immateriil tersebut tidak dilakukan, maka konsekuensinya adalah pemrosesan perkara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
2. Perkara Perdata yang Mengandung Unsur Pidana
Demikian halnya dengan perkara perdata yang mengandung unsur pidana. Contohnya, pada kasus jual beli tanah di bawah tangan yang ternyata memperjualbelikan objek yang tidak benar-benar ada dengan dokumen kepemilikan yang palsu. Seharusnya perkara jual-beli tanah masuk ke ranah perdata, tetapi unsur penipuan di dalamnya tunduk kepada KUHPidana Pasal 378, dengan ancaman penjara 4 tahun dan unsur pemalsuan surat berharga pada KUHPidana Pasal 263-264, dengan ancaman penjara 6 tahun.
Dalam kasus seperti itu, banyak korban yang lebih mementingkan nominal uang yang sudah mereka berikan agar dapat dikembalikan oleh pelaku tersebut. Oleh karena itu meskipun dapat saja kasus tersebut langsung diproses secara hukum perdata melalui gugatan ke pengadilan atau laporan kepada pihak kepolisian.
Namun pada praktiknya, surat somasi dijadikan langkah awal untuk memberikan kesempatan bagi pihak yang akan digugat atau dilaporkan kepada pihak kepolisian untuk memperbaiki kesalahannya dan tetap menjaga iktikad baiknya.
3. Wanprestasi Perjanjian
Somasi juga dapat digunakan dalam permasalahan perdata saja seperti wanprestasi. Hal ini sesuai dengan teori dan fungsi somasi yang memang dijabarkan dalam KUHPerdata. Meskipun fokus dari aturan mengenai somasi secara teori adalah kepada kreditur dan debitur yakni pada kasus utang-piutang, somasi juga dapat digunakan ketika suatu perikatan/perjanjian dengan objek lain tidak terpenuhi.
Somasi itu sendiri sebetulnya dapat ditulis atau dibuat langsung oleh pihak yang merasa dirugikan, misalnya suatu perusahaan atau instansi. Selama identitas pihak yang dirugikan secara jelas tercantum, dan ditujukan kepada siapa somasi yang dibuat tersebut. Poin utama dari somasi adalah harus adanya duduk perkara dan masalah yang ingin digugat/dituntut, dengan jarak/jangka waktu pemenuhan prestasi.
Biasanya dalam permasalahan wanprestasi somasi dibuat sebagai ruang memberikan kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk dapat beritikad baik memenuhi prestasi, apabila tidak ada iktikad baik memenuhi prestasi akan dilakukan upaya hukum lanjutan seperti proses pengajuan perkara ke pengadilan .
Begitulah bentuk-bentuk somasi yang sering digunakan dalam praktik, jika kamu mengalami perkara yang memerlukan bantuan pembuatan somasi, kamu bisa menghubungi Fauxell untuk konsultasi lebih lanjut.