Hukum Penutupan Warung Makan selama Ramadhan
Bulan suci Ramadhan adalah waktu yang seringkali dinantikan oleh umat beragama muslim. Tentunya dikarenakan di bulan tersebut, mayoritas umat beragama muslim menjalankan ibadah puasa yang menjadi kewajiban untuk dijalankan setahun sekali.
Ibadah tersebut mengharuskan umat muslim untuk menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Tidak mengherankan, kalau sebagian umat muslim beranggapan bahwa tidak perlu ada makanan yang dijajakan pada siang hari, termasuk warung makan.
Majelis Ulama Indonesia (‘MUI’) sendiri memberikan imbauan khususnya kepada pemerintah-pemerintah kota untuk mengeluarkan surat edaran agar warung makan dan restoran untuk tidak berjualan pada siang hari. Fungsinya adalah guna menghormati bulan suci Ramadhan dan mencegah umat muslim yang sedang berpuasa untuk tergoda membatalkan puasanya. Imbauan MUI ini bersifat tegas dan tanpa toleransi terhadap wanita muslim yang sedang haid, sehingga tidak wajib berpuasa. Ataupun terhadap umat beragama lain yang mungkin memerlukan jasa warung makan dan restoran.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pemerintah berbagai kota, beberapa pemerintah kota menerapkan imbauan tersebut secara tegas dan beberapa lainnya memberikan keringanan dan toleransi.
Beberapa pemerintah daerah seperti pemerintah Kabupaten Bogor dan Kota Aceh menjalankan imbauan tersebut dengan apik. Pemilik warung makan yang tetap beroperasi pada siang hari secara berturut-turut digerebek oleh pihak berwenang, dan ditutup paksa oleh Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Sementara itu beberapa pemerintah daerah menerapkan beberapa keringanan dan toleransi kepada umat non-muslim. Misalnya Pemerintah Kota Depok, yang mengimbau pemilik warung makan atau restoran untuk mengenakan kain penutup atau tirai di area usahanya siang hari selama bulan Ramadhan. Adapun Pemerintah Kota Pangkalpinang yang tidak melarang warung makan beroperasi saat siang hari selama bulan Ramadhan selama setiap pemilik warung makan menggunakan kain atau tirai.
Dibalik dari kesan tidak toleransi yang ditimbulkan dari imbauan MUI tersebut, sebetulnya terdapat beberapa sebab utama yang mendasarinya, yakni:
- Jenis Makanan, Lokasi dan Demografi Pelanggan
Beberapa warung makan dan restoran memang menjual jenis makanan yang mungkin hanya diminati umat muslim, atau berlokasi di daerah dengan mayoritas pelanggan yang beragama Islam. Oleh karenanya, penjualan makanan dan minuman pada siang hari dapat berakibat fatal pada penurunan penjualan secara signifikan. Padahal, operasional dari warung makan atau restoran tersebut tidak berkurang.
- Efektivitas Sumber Daya
Beberapa warung makan dan restoran memang mempekerjakan karyawan yang mayoritas beragama muslim. Sementara itu, warung makan dan restoran terkenal sebagai bidang usaha yang memerlukan stamina dan tenaga yang besar. Persiapan makanan dan minuman yang memerlukan waktu dan upaya ekstra saat bulan puasa dapat membebani karyawan dan pemilik warung yang sedang berpuasa. Oleh karenanya, menutup warung makan dan restoran selama para karyawan berpuasa juga dapat menjadi salah satu jalan efektivitas sumber daya.
- Keutamaan Bulan Suci Ramadhan
Sebagai bulan suci yang hadir satu tahun sekali, Ramadhan selalu jadi bulan yang dinanti bagi umat muslim. Bulan suci Ramadhan juga seringkali identik dengan waktu ibadah berjamaah, baik bagi keluarga maupun komunitas-komunitas muslim. Penutupan warung makan dan restoran pada bulan ini, memberikan para pengusaha kuliner keleluasaan waktu untuk beribadah lebih banyak pada siang hari.
Namun, di sisi lain, tindakan imbauan penutupan warung makan dan restoran tersebut, juga terkesan tidak memikirkan konskuensinya bagi penghidupan para pengusaha kuliner. Imbauan dari MUI serta surat-surat edaran tersebut, baik yang bersifat tegas maupun parsial, tidak disertai dengan solusi alternatif mata pencaharian bagi para pengusaha kuliner ini. Sehingga akhirnya, banyak warung makan dan restoran yang beroperasi secara diam-diam.
Pemerintahan di Indonesia yang memang seringkali hanya memikirkan satu segi dalam merumuskan peraturan perundangan, bukanlah fakta yang baru terjadi. Selaku rakyat, terutama pengusaha Indonesia, pandai mencari solusi dan alternatif mandiri adalah kunci dalam membangun stabilitas dan kesuksesan dalam menjalankan usahamu.
Nah, gimana kalo sobat Fauxell?